Jumat, 24 Februari 2012

Sedikit Curhat Galau dari Penulis.



and I miss my white-gray era in a sudden. When I'm starting to love someone...

--------------------------------------------------


ahem. boleh curhat sejenak ?

Memang sih, jadi orang yang kedua didalam sebuah hubungan merupakan hal yang tragis. Ironis memang, ketika semuanya telah kita korbankan, mulai dari waktu, tenaga, materi, bahkan sampai jabatan pun dipertaruhkan disini. Dan semua... dianggap tidak berarti sama sekali, dimatanya.

Tapi bagaimana kalau kita benar-benar sayang kepadanya ? berarti... kita mesti siap juga untuk sakit hati. Dan jangan salah, perkataan Meggy Z soal lebih baik sakit gigi daripada sakit hati itu adalah kebohongan besar ! Keduany mampu bikin kita badmood setiap saat. Namun yang membedakan adalah; sakit gigi lebih merujuk kepada nafsu amarah, sedangkan sakit hati lebih didominasi oleh nafsu untuk... bergalau ria.


*setel lagu Mr. Big - Just Take My Heart*

Sama seperti yang penulis rasakan baru-baru ini, ketika apa yang telah kita berikan kepadanya dianggap tidak berarti sama sekali, atau lebih buruk; diberikan kepada orang yang dia sayang -- dalam konteks ini, tentunya orang lain -- setulus hati. Dan ketika hendak menuntut kembali apa yang telah kita perjuangkan, semuanya hancur dengan perkataan yang singkat namun mematikan...

Memangnya aku udah minta apa aja sama kamu ?


Gotcha ! Kemudian mulut terkunci. Hendak hati ingin meletup namun bibir tetap tertutup. Dan semuanya hanya berujung penyesalan yang bahkan, tak sedikit pun mengurangi rasa sayang kita kepadanya. Walaupun sebetulnya apa yang telah kita berikan dianggap sampah olehnya.

Dari sini, penulis mendapatkan pesan moral yang dahulu hanya diceramahkan oleh para tetua ataupun kartu pepatah yang sering kita dapatkan di mesin penimbang badan yang biasa kita jumpai di mall, beberapa tahun lalu. Yaitu :

  1. Cinta itu buta. Secara teori, pencampakan, penghinaan ( secara halus ), pengacuhan, telah kita rasakan. Akan tetapi, semua itu tertutup oleh rasa sayang yang kita miliki.
  2. Apabila kita jatuh cinta, berarti kita mau tidak mau mesti siap untuk sakit hati. Jangan tanyakan alasannya. Ini semua memang sudah seperti siklus, dimana ada awal, pasti ada akhir.
  3. Materi mengalahkan segalanya. Terkesan subjektif ? memang. Namun begitulah kenyataannya. Secara naluriah, wanita menginginkan pasangan yang berkecukupan, yang berarti, wanita tersebut akan merasa aman dengan modal finansial yang dimiliki sang lelaki. Kalo ada para wanita yang mengatakan tidak, itu cuman perkataan berdasarkan logika. Perlu diingat, kalau wanita berpikir dengan rasio : 80 % Perasaan, 20 % Logika.
  4. Lagu-lagu Pop mellow / ballad / Rock yang bertemakan patah hati akan menghiasi playlist. Sekali lagi, jangan tanyakan mengapa...
  5. Kasih sayang terkalahkan oleh harta.  Simpelnya seperti ini. Bayangkan diri anda seorang wanita yang sedang bimbang untuk memilih mana yang terbaik bagi diri anda. Di depan anda ada dua orang lelaki, anggap si D ( akronim dari... ah, message aja deh kalo mau tau ), yang jarang untuk menemukan waktu bersama sang kekasih dan si H, yang memiliki banyak waktu luang dengan mengorbankan pekerjaannya. Si H itu tidak lain dan bukan adalah, inisial penulis. Si D, memiliki mobil inventaris orang tua. Sedangkan si H, hanya bermodalkan motor hasil sendiri. Mana yang akan anda pilih ?

Nuff said.



Sebetulnya masih banyak hal yang ingin sekali kuceritakan disini... tunggu kelanjutannya, yaa.












Selasa, 21 Februari 2012

Seekor Cicak dan Kanvas.


"...bila kuanggap kanvas ini sebagai alas sandiwara kita, mungkin sudah tak nampak lagi warna putih bersih seperti saat dia pertama kali kulukis..."

---------------------------------------------------


pada suatu saat dimana sebaris jingga hendak membentang mengganti siang, kucoba lukiskan setiap lekuk wajahmu tanpa menghilangkan setiap manis tatapan darimu, lembut pipimu, ataupun bibir merah jambumu yang merekah.

***

benar, aku melukis.
mencoba mengembalikan sedikit sentuhan yang dahulu kulatih sekian lama.

***

seketika, perhatianku teralih ketika seekor cicak ikut tertegun memandang kanvas yang hendak kubentang. 
dia terdiam. 
lama. 
tanpa suara. 

barangkali, dia tahu gelisahku akan rindu yang kukulum setiap senyap membekap; mengingat dia selalu kutemukan disaat sendu menjadi candu bagiku.

.
.
.

maka kutinggalkan kanvas tersebut, tanpa ada satu warna yang membuncah.
dan cicak tersebut masih tertegun,

memandangiku...








Senin, 20 Februari 2012

Sesak. Terisak.



aku harus siap, bila pada nantinya... kau mengucapkan selamat tinggal padaku.

------------------------------------------------



...dan memang aku terlalu idiot untuk mengerti tentang dialektika yang kau ujar beberapa waktu lalu. dimana senjakala hanya menjadi saksi dalam diam dan kau membuat ucapan 'selamat tinggal' menjadi suatu yang tak lagi induktif dalam kamus abadiku. Dia jingga, dan sejenak kemudian membiru, menggelap, lalu terlelap.


sesaat setelah itu, dadaku sesak. entah mengapa, sulit rasanya bagiku untuk bernafas; terengah-engah. Dan bila kutebak, iblis dalam jiwaku sedang tersenyum sinikal mencerna alegori yang terpapar dalam jerami yang membusuk di gudang.


Aku sesak, tanpamu.




maka biarkanlah aku mencari sedikit celah dalam relungmu, agar aku mampu untuk terus merasa sesak, karenamu... 


















*taken from my old collection at kaskus, April 13th, 2010.


Lima Detik.


"mungkin ceritanya akan sedikit berbeda jika kita tetap menyusuri hutan pinus tersebut dalam gelapnya malam..."

---------------------------------------------------------


malam yang membuncah dan dingin yang menusuk, seketika sirna ketika kudapati sebuah cahaya di kejauhan. sebuah kedai di perbukitan dengan secangkir Cappucinno, temaram lampu perkotaan, dan Kamu, disisiku.

dan tubuhku meletup saat bibir-merah-jambu milikmu, berpadu dengan lengketnya sisa caramel di bibirku.

satu.
dua.
tiga.
empat.
lima.

lima detik.
dan kamu berhasil menciptakan memori yang takkan pernah lenyap dalam hidupku bersamamu.

Kau Keparat ! Kau membuatku semakin tak rela untuk kehilanganmu.



Sabtu, 18 Februari 2012

Karma Imaji.


"...dan begitulah caraku agar bisa selalu bersamamu..."

-----------------------------------------------


pada suatu senyap, aku pernah berharap matahari yatak kunjung tiba.
agar tubuh rapuh ini senantiasa memungkur sujudku pada-Nya dalam pertengahan malam,
lalu berharap agar kelak mampu bertemu dan memilikimu selamanya, dalam mimpi.

karena setiap kali aku terbangun,
aku mendapati diriku yang bukan apa-apa; bukan siapa-siapa.

kecuali roti yang tinggal sekerat, dan hati yang berkarat...


















Secandu Pecandu Kopi.


"...dan lagi-lagi, secangkir kopi dan setangkup rindu yang menelungkup. semanis dirimu yang kucumbu dalam lugu..."

---------------------------------------------------



Secangkir Latte Macchiato, dan bayangmu yang sedang tersenyum kepadaku; adalah teman yang setia terdiam ditempatnya...

satu di sudut meja, dan sisanya di sudut rasa.

.
.
.

Akh.
entah kata macam apalagi yang harus kumuntahkan detik ini.
Barangkali; perasaan ini, hanya akan menjadi aksara. menjadi suara. atau menjadi apapun, yang takkan pernah bisa menyentuh rindumu...








kau (pen)curi hati.


Yep. I do really remember it. And everything fades away since I know who I am in your eyes...

---------------------------------------------------------


Kita yang kasmaran seumpama kunang-kunang redup yang berpendar dalam malam; bertebaran dibawah purnama.
Hingga malam ini, aku dan dia berdiri dibawah langit yang sama. Menjamah jarak, mencumbu rindu. mengadu rasa yang tak kunjung bertaut. Mencipta frasa yang kita sebut,


kenangan.



Andai kupinta Tuhan untuk mengembalikan hati yang telah ia curi, akankah Dia ?























Satire.


----------------------------------------------


ah, aku tahu.
rinduku yang tak berkesudahan padamu adalah aksara yang paling satir!

karena sekuat apapun itu, dia hanya mampu kalap saat menyaksikan dirimu bersamanya, terlelap. Hingga kemudian tenggelam; mengendap.



















Tatap.



"...dan lagi-lagi, aku rindu akan bibirmu yang merah jambu itu. Cappucinno keparat..."

------------------------------------------


Dalam senyum lengkung yang kuraut, aku menatapmu.

lekat.
dalam.
dalam diam.
dalam-dalam.

dan pikiranku kembali berkecamuk, berputar-putar mencerna setiap memori yang tersangkut. Tapi tak ada benang yang kemudian terajut.
Aku melarat. Aku sekarat!
Dan kau tahu itu...

Maka aku mempersilakan bisu menjejak setiap dinding tembok kamarmu, dengan mata kita yang tetap beradu padu.
Hingga aku berusaha memberitahumu dalam diam, bahwa aku selalu ingin hidup.

Dalam dirimu...









Payung Lembayung


"...cepat, kemari. aku tak ingin menampakkan wajahku yang menggigil saat bertemu denganmu..."

--------------------------------------


sore itu, mendung benar-benar serupa dengan kapas basah; kelam...
hingga tak sedikitpun semburat jingga yang biasa kutemukan saat petang hendak membuka tabir.

apakah kamu memiliki payung ?
payung yang cukup bagi kita; berdua. payung yang mampu meneduhkan kala hujan menggerimis, merintis, dan menderas.

kemari...

.
.
.

bawa hatiku hangat bersamamu, bersamaan dengan aku yang begitu mencintai hujan.
hingga malam terkuak, dan aku yang masih berdiri mencari-cari setiap aroma aspal basah dengan tangan yang menengadah...

aku mencintai hujan.
sama seperti aku... mencintaimu.







Selasa, 14 Februari 2012

Euforia Fobia.




"...bahkan masa lampau sering menjadi cerminan akan masa yang akan datang..."

-------------------------------------------------------------



...masih seperti biasa, kubuka sedikit cerita tentang kau yang selalu berdiri terdiam dikepalaku tanpa rasa yang... , "ah, apakah wanita yang berdiam, menatapku kosong diujung sana itu benar-benar dia ? apa masih sudi dia melihatku, yang secara harfiah, adalah orang yang enggan berdaya dalam dirinya ?", pikirku.

benar saja. mataku tak sengaja mengarah padamu. Bersamanya. dalam nyata. dalam-dalam. sepertinya harus segera kuitis jemariku agar tak perlu lagi kuketikkan kata tentang namamu, yang membawa rasaku mengasap, mengabut, dan lambat laun, menghilang.



tidak, tidak. aku takkan pergi untuk mencari pisau, ataupun paku untuk menancapkan kemelut yang membuatku gila. aku hanya ingin memiliki perhatian. darimu.



aku serupa agnostik; kelimpungan di jalan Tuhan, rasaku kini tersesat di pengembaraan; mencari agama yang aku, kita, dan mereka namakan :


Cinta.























Senin, 13 Februari 2012

Desau Rindu.



"namun, apakah kamu mengerti apa yang kumaksud ? kemari, taruh tanganmu disini. di dada kiriku. biar ia yang bercerita..."

------------------------------------


Pada hujan yang mengurung jiwamu kian samar, pelan-pelan kunyaringkan sisa huruf dan kata-kata pada setiap puisi cinta kita. tak bernada, tak bertanda. hanya saja...


ah, aku belum mampu menjelaskannya. aku hanya mampu...




mencintainya.








Farewell...







apa ini... penghakiman sunyi ?
jika ya, biarkan aku diadili.


atas kesalahanku, yang tak kunjung mendekapmu hingga akhirnya kau memilih orang lain; menggandengmu...











Minggu, 12 Februari 2012

Risau.



ada yang menusuk, disini.
di dada kiri.
malam ini, dibalik tirai gerimis.

.
.
.

apakah itu kamu, rindu yang merajuk ?
ataukah itu, kamu; kenangan tak terpeluk ?

***



God dammit you, Hadi ! how could you keep lying yourself just for someone who even doesn't want to knowing your existence ?

No matter. I love her...





***

ternyata bukan keduanya.
adalah dia, sepi yang memberontak dibalik rinai...

Paramnesia.



Kita berdiri pada langit yang sama. Dan aku masih menyusuri setapak yang kau jejak dalam bisu.


-------------------------




Kau tahu ?
sejak kutulis sajak Deja Vu beberapa waktu lalu, malam kini terasa sama; Hanya mampu bermunajat sebari menyisipkan bait namamu yang begitu kuhafal dengan sempurna.


Tidakkah seharusnya telingamu berdengung tatkala ada seseorang jauh disana, memohon agar Tuhan selalu mencipta terik pagi agar orang yang kau bisa bertegur sapa; menyisipkan ucapan pagi bersamaan dengan kicau burung gereja diluar sana ?


Hatiku mengatakan hal serupa. sayang, dia mengetahui kejanggalan yang terujar; kau mengucapkannya kepada lelaki lain -- dan bukan aku --.




maka untuk kesekian kalinya, kubiarkan Cappucinno-ku mendingin; dan kutarik gorden.













Sajak Fajar.




aku ingin menjadi pagimu,
yang selalu kau sapa saat dunia hendak bertemu

.
.
.

bukan malammu,
yang hanya mampu bersua dalam mimpimu.

Jumat, 10 Februari 2012

Paradoks.


terkadang, bulan nampak lebih indah dibanding matahari. Hanya karena kita takkan pernah mampu, memandang matahari...

-------------------------------------------------------

malam semakin larut, bersamaan dengan secangkir ronde jahe yang sekiranya mampu mengepulkan sesisa asap kehangatan dalam sunyi yang pekat.

malam ini, pikiranku kembali melayang dengan dogma yang menguatkan eksistensi akan karma. atau takdir ? entah. yang jelas, satu hal yang membuatku hanyut dalam lamun adalah bahwa orang baik selalu berakhir dalam paradoks.

mereka adalah orang yang percaya bahwa kebaikan akan dibalas oleh kebaikan; meski kesedihan selalu saja terlebih dahulu mengetuk.

dan dia, bergumam bahwa aku terlalu baik. untuknya...

***

Lalu, kejahatan macam apa yang harus kuperbuat hanya untuk sekedar membuatmu... 


jatuh hati ?

















Kamis, 09 Februari 2012

Sepisau Risau.

 
"...bukankah aku hanya hidup dalam mimpimu, kan ?", "ku perjelas; hanya mimpi, kan ?"

----------------------------------------------


kalau hatiku sekarat...
maukah kau menikamku ?
.
.
.
tak perlu rasanya kau mengatakan iba atau frasa yang serupa.
cukup; tikam.

biar ia merasakan mati, karenamu...






Dreamland.





"...akan datang, masa dimana kita hanya berdua. tanpa racau sebuah nama..."
-----------------------------------------------------------


dia mengatakan kalau aku masuk dalam mimpinya. lagi.

dalam imajinya, aku hidup.
dan dalam gagu yang membahana, dia mengatakan beberapa hal.

Kalau dia, menciumku.
.
.
.

Aku tertegun;
sepi.

.
.
.

Tak apalah... setidaknya, aku masih hidup dalam dirimu. meski tertatih...

 

Malu atau Ragu ?

 
"...rasanya aku semakin ingin menerjunkan tubuhku hanya untuk sekedar melepas penat.."
 
-----------------------------------------------------


"Kalo udah mau pulang, bilang yah..."

"Iya..."

.
.
.

Dan seperti itulah caraku memandang wajahnya dari dekat.

***

Lidahku kelu.
Telah beberapa kali dia berusaha untuk mencairkan kebisuan yang tersamar dalam deru.
Dan bibirku hanya mampu tertutup malu.

Maafkan aku, sayang.
Aku hanya tak ingin kita beradu sapa yang pada akhirnya, membahas hubungan kalian berdua.

Semua topik semacam itu hanya membuatku semakin... idiot.

Senin, 06 Februari 2012

Doa



Pintaku sederhana, Tuhan;
.
.
.
Aku ingin dia mengerti setiap larik yang tereja terbata.

Disini.
Karena hampir seluruhnya,

berasal dari jerit hati yang ia curi...

Depresi Melankoli




"...Seperti Selma yang mematahkan sayap Kahlil..."

------------------------------------------------




...sampai detik ini, aku masih harus bersusah payah untuk berdamai dengan sekerat kenangan yang menggumpal dalam dadaku. Atau mencoba berbaikan dengan gejolak halus yang selalu mendesir perlahan, yang selalu berhasil membuatku sesak. Terisak. Sama halnya seperti menjaga istana pasir yang terlalu dekat dengan debur ombak. Selalu saja berakhir tragis.


Hal ini yang selalu membuatku terdiam. Membiarkan diam berbahasa. Membiarkan air mata mengganti tulisan yang semenjak tadi, tak kunjung tertulis. Tak kunjung tertata dalam bait, yang selalu berakhir dengan sebuah kata yang entah sampai sekarang, aku tak paham bagaimana cara memperjuangkannya.


Kamu.


Aku tahu, semua hal ini tak sehat. Telah kukorbankan beberapa waktuku, mengesampingkan apa yang seharusnya kudepankan, dan berusaha untuk tetap terjaga hanya untuk memastikan; kau baik saja. Kucoba memilin setiap rasa yang kusut, menguntai setiap kenangan yang terajut, yang lagi-lagi... bermuara entah dimana, dan hanya berputar-putar seperti lingkaran utuh yang sempurna. Aku nelangsa. Aku merana. Karena lebih memilih mencintai dan kemudian tersesat dalam melankoli... 





























Minggu, 05 Februari 2012

Mengejar Pijar.




- kamu tentunya tahu, tujuan terakhirku... -

--------------------------------------------


Lelaki muram itu pergi menerabas pekatnya malam dan dingin yang mengabut.
Sendirian.

Mencari tempat peristirahatan yang ia harapkan, setidaknya dapat mengoyak setiap perih yang terkungkung dalam sanubarinya.

Atau sebaliknya;
menaikkan dosisnya secara perlahan.


Lelaki muram itu sampai di suatu tempat.
Di sebuah dataran tinggi, dimana ia selalu terkesima meski dengan pijaran cahaya lampu yang memburam.


"Indah...", menurutnya.


Lelaki muram itu kemudian termenung.
Membiarkan Cappucinno-nya mendingin.
Memahami pelajaran yang takkan pernah bisa dimengerti...






*based from what I did few nights ago...

Destiny.


"Do you still remember where and when this picture taken ? I do. How about you ?"

-----------------------------------------------------------



kalau saja,
aku tak pernah mengajakmu makan malam saat itu...
.
.
.
Masihkah kita akan saling mencaci diri sendiri ?
Akankah aku mencuri setiap detik bersama nelangsa ?
Akankah kamu terbelenggu dengan kebimbangan ?

Ah, sepertinya tidak.
karena yang kutahu, kau bahkan sama sekali tak perduli dengan hal tersebut.


Dia menangis, dalam diam.



"...and I don't even know how Jeff make these pic. All of them was so... beautiful."

---------------------------------------------------------------

Aku tergagu; termangu.
Dan kemudian aku mendekapnya. Memeluknya.

Berusaha memberi bara semangat yang tersisa.
Hanya sekedar untuk membahasakan aksara yang... tak akan pernah bisa terjelaskan.


Satu yang hanya mampu kucatat saat ini,
adalah tentang dirinya, yang akan selalu hidup dalam aku.

.
.
.

Dan sekarang, aku setidaknya paham satu hal.
Bahwa dalam dirinya,
aku tak pernah hidup.

Saat itu, hingga sekarang.

Bukankah begitu, kamu yang memiliki inisial D ?

Sabtu, 04 Februari 2012

Diari Malam Minggu

Sabtu, 4 Februari 2012, Jam 23.12.

Sudah hampir sepuluh hari sejak dia mengumukannya secara luas bahwa dia -- perempuan yang kusayangi dan telah mengisi separuh hatiku -- telah memiliki pasangan yang baru. Dan itu tepat beberapa jam setelah aku; lelaki lain menaruh janji bahwa dia akan menunggu sebuah jawaban.

Sudah hampir sepuluh hari juga petualanganku tentang menjelajah sedikit perih dengan topping galau, diatasnya. Mungkin, selama petualanganku juga, hanya beberapa kerat nasi yang telah mendarat bebas dalam perut.
4 kali, mungkin ? jauh dari harapan sehat untuk mencukupi kebutuhan nutrisi yang standar minimalnya 2 kali sehari atau dikalkulasikan menjadi 18 kali, sampai sekarang. Sisanya, Vitamin C dan beberapa minuman ( termasuk sebotol Smirnoff didalamnya... ). Wajar saja bila Maag beberapa kali menyerang.

Payah. Untuk apa aku menderitakan diriku sendiri demi seseorang yang, bahkan... takkan membaca tulisan ini ?

Sampai detik inipun, aku tak memiliki jawaban atas itu.
Yang kutahu, aku hanya ingin menikmati sisaan ini, karenamu.

Karenamu.


Jumat, 03 Februari 2012

Getir.



"...lilin kecil. Adalah kata yang kuterjemahkan dari namamu yang tercantum dalam akunmu..."


--------------------------------------------------


"Memangnya aku siapa ?"

Hingga seketika aku kembali terdiam, memikirkan kata yang cocok untuk menjadi padanan kata selanjutnya.
Kemudian waktu kembali berubah hening.
Ya, hening.
Dimana sunyi berhasil menjamah seisi ruang yang sejak tadi, menjadi latar tempatku menaruh setiap bayang; tentangmu.

Sebentar. Ijinkan aku berpikir. Sejenak.

***

Tak lama kemudian, aku menyadari bahwa aku benar-benar tidak sedang baik-baik saja!

Ku tinju tembok kamarku. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Dan tembok tetaplah tembok. Hanya bergeming. Tak sepadan dengan rasa sakit yang tak terperi, menyeimbangkan darah yang tertetes perlahan dengan lara yang kudera.


***


Aku menyerah.
Aku tak bisa mencari kata yang mampu menyiratkan luka meski telah kubalut dengan sepotong panekuk coklat.
Aku tak sanggup lagi untuk mencoba melupakan setiap jengkal dari dirimu yang tertinggal, dalam otakku.

Tapi satu hal yang kupahami selama ini, "Aku memang bukan siapa-siapamu..."

Masih Tentang Senja.



"...ketika kutatap senja, aku tahu. Ada yang salah dalam diriku. Soal aku-baik-baik-saja yang tak pernah baik-baik saja kah ?"


---------------------------------------------------------


Rasanya kemarin aku telah menyelesaikan diksiku akan senja; dimana ia yang terbungkus kertas emas, perlahan melumat habis setiap birunya langit hingga berwarna indigo dan mencipta mentari yang bersinar rapuh, yang sebelumnya menghasilkan jingga. Sejingga lembayung. Atau tentang seorang lelaki tua yang berpulang, menemui perempuan dan malaikat kecilnya, bersamaan dengan burung-burung yang meriuh.

Haru.

Tapi kenyataannya, tidak.
Senja masih menyisakan sedikit fenomena, yang hanya mampu kukupas perlahan tatkala aku memupus setiap bayang yang sejatinya, takkan pernah hilang. Seperti debur ombak -- menghapus setiap coretan yang kucerca hingga hangat airnya menyentuh telapak kaki; menggesek pasir-pasir hingga tiada berbekas.

Aku masih sama seperti kemarin; hanya mampu menatap sayu dalam magisnya aksara yang tersusun. mencoba merangkai setiap kalimat yang bilamana ku eja, akan membentuk : kamu.

Dan pada akhirnya, aku masih menangis. Meluruh rasa yang menggenap di mata, di hati, di raga. Dalam diam, dalam-dalam. Menangis untuk apa, aku tak pernah benar-benar tahu. Bukankah cinta tak pernah mencipta kata 'karena' ? Atau mungkin karena aku tersadar, bahwa aku akan terus terlupakan; seperti halnya senja ketika petang menjelang...  

 

Sepisau Sepi.






"...adalah dimana kita bertatap wajah, saling terdiam, tanpa ada tutur sapa yang tercipta..."

-------------------------------------------------


Sepi itu, kuumpamakan sebagai bulan yang mengkhianati matahari, yang membuatnya tergelincir hingga terkapar dan terlupa. Ia mati suri untuk sekali lagi, petang hingga malam itu. Dan aku hanya mampu menatapnya kosong, hingga bintang menyala nyanar mencoba berfantasi memperlihatkan sedikit raut wajahmu yang anggun.


Sepi, adalah ketika kita terbangun dari mimpi yang mengaduh dan kemudian menyadari tiada sesiapa selain tatapan kosong yang tersirat; hingga rindu bertaut.

Sepi layaknya aku yang berada dalam perjalanan; ketika oleng dan terjatuh. Sedang ragaku berdarah tatkala aku terduduk dan terdiam.

Dan pada akhirnya, sepi adalah ketika engkau dan aku, berada dalam satu ruang yang sama, mengurai cerita, tetapi tak satupun aksara yang tereja...





*judul dikutip dari bait puisi karangan Sutardji Calzoum Bachri